WESTERLING SANG PENJAGAL
Masyarakat kota Bandung Jawa Barat dan para prajurit TNI mantan Divisi Siliwangi boleh jadi tidak bisa melupakan peristiwa berdarah berikut ini. Pagi itu, 23 Januari 1950, pasukan KNIL Belanda yang dipimpin seorang opsir Baret Hijau Kapten Raymon P.P. Westerling menggemparkan Kota Bandung. Pasukan tanpa atribut itu membabi buta menembaki anggota TNI Divisi Siliwangi yang berada di jalan. Mayor Sutikno dan Mayor Sacharin ditembak di depan Hotel Savoy Homann. Letkol Adolf Lembong yang pagi itu akan menghadap Komandan Divisi Siliwangi Kolonel Sadikin di Gedung Stafkwartir yang terletak di Oudhospitalweg (kini Jalan Lembong) Nomor 38, tidak luput dari sasaran kekejaman westerling, sang algojo peristiwa pembantaian 40.000 penduduk Sulawesi Selatan itu. “Waktu itu, anggota Staf kwartir lainnya berusaha menyelamatkan diri lewat pintu belakang,” begitu salah satu kenangan yang disampaikan almarhum Letjen (Purn.) Dr. (HC) Mashudi.
Peristiwa itu mengakibatkan 79 anggota TNI dari Divisi Siliwangi gugur. Dalam penyelidikan kepolisian pada awal 1955 menemukan setidaknya terdapat 15 prajurit TNI lain diculik, bahkan salah seorang di antaranya berpangkat kapten. Mereka dibawa lari ke hutan di kaki Gunung Tangkubanparahu di sebelah barat Lembang oleh sebagian pasukan APRA yang dipimpin Eddy Hoffman.
Si Jagal Penyendiri
Masa kecil Westerling tak banyak terungkap, sebagian besar rapat tertutup. Dalam stambuk tentara KNIL, namanya hanya tertera sebagai Kapten Westerling. Ia lahir di Istanbul, Turki, pada hari Minggu, 31 Agustus 1919. Orangtuanya adalah pasangan pedagang karpet. Ayahnya seorang Belanda, ibunya keturunan Yunani.
Ketika berusia 5 tahun, kedua orang tuanya meninggalkan Westerling. Anak tak bahagia itu lalu hidup di panti asuhan. Tempat itulah mungkin yang membentuk dirinya menjadi orang yang tidak bergantung dan terikat pada siapa pun.
Westerling yang sudah tertarik pada buku-buku perang sejak masih belia menemukan kesempatan untuk jadi tentara ketika Perang Dunia pecah. Desember 1940, ia datang ke Konsulat Belanda di Istanbul. Westerling menawarkan diri menjadi sukarelawan. Ia diterima. Tapi untuk itu, sebelumnya ia harus bergabung dengan pasukan Australia.
Bersama kesatuannya, Westerling ikut angkat senjata di Mesir dan Palestina. Dua bulan kemudian ia dikirim ke Inggris dengan kapal. Di sini kesewenang-wenangannya mulai muncul. Ia menyelinap menuju Kanada, melaporkan diri ke Tangsi Ratu Juliana, di Sratford, Ontario. Di situlah ia belajar berbahasa Belanda.
Westerling lalu dikirim ke Inggris. Ia bergabung dalam Brigade Putri Irene. Di Skotlandia, ia memeroleh baret hijaunya. Ia juga mendapat didikan sebagai pasukan komando. Spesialisasinya adalah sabotase dan peledakan. Ia pun mendapat baret merah dari SAS (The Special Air Service), pasukan khusus Inggris yang terkenal. Dan yang membanggakannya, ia pernah bekerja di dinas rahasia Belanda di London, pernah menjadi pengawal pribadi Lord Mountbatten, dan menjadi instruktur pasukan Belanda—untuk latihan bertempur tanpa senjata dan membunuh tanpa bersuara. Tapi ia pun pernah dipekerjakan di dapur sebagai pengupas kentang.
Ternyata, hidup di barak bagi seorang Westerling menjemukan. Ia ingin mencium bau mesiu dan ramai pertempuran sebenarnya, bukan cuma latihan. Cita-citanya kesampaian pada 1944, Inggris menerjunkannya ke Belgia. Dari situ ia bergerak ke Belanda Selatan. Menurut buku De Zuid-Celebes Affairs, di Belgia itulah ia kali pertama merasakan perang sesungguhnya. Tapi, menurut Westerling sendiri, dalam Westerling, ‘De Eenling’ (Westerling, Si Penyendiri), perkenalan pertamanya dengan perang terjadi di hutan-hutan Burma.
Berkilau agaknya prestasi militer Westerling. Tapi entah mengapa ia meninggalkan satuannya, pasukan elit Inggris, dan masuk menjadi anggota KNIL. Ia lalu terpilih masuk dalam pasukan gabungan Belanda-Inggris di Kolombo. Pada September 1945, bersama beberapa pasukan, Westerling diterjunkan ke Medan, Sumatera Utara.
Tujuannya, menyerbu kamp konsentrasi Jepang Siringo-ringo di Deli, dan membebaskan pasukan pro-Belanda yang ditawan. Ia berhasil.
Sebulan kemudian tentara Inggris mendarat di Sumatera Utara, dan entah bagaimana Westerling bergabung dengan pasukan ini. Tugasnya, melakukan kontraspionase, demikian kata buku Westerling, De Eenling. Itu makanya di Medan ia mengkoordinir orang-orang Cina, membentuk pasukan teror Poh An Tui (PAT). Pertengahan tahun 1946, ia dikirim ke Jakarta.
Di KNIL, karier militer Westerling menanjak cepat. Mulanya, ia hanya seorang instruktur. Tak lama, pada usia 27 tahun, Letnan Satu Westerling diangkat sebagai Komandan Depot Speciale Troepen (DST), Pasukan Para Khusus Belanda. Pasukan inilah yang ditugaskan ke Makassar, untuk membantu Kolonel De Vries mempertahankan kekuasaan Belanda. Pada 5 Desember 1946, ia tiba di Makassar. Belum seminggu di tempat baru, ia sudah membuat teror yang menggemparkan. Kampung dikepung, dihujani mortir. Rumah-rumah dibakar habis. Penduduk dikumpulkan, dibantai. Dan para anggota pergerakan kemerdekaan disiksa, sebelum dihabisi dengan biji-biji peluru.
Empat bulan teror, perlawanan penduduk mereda. Anehnya, rakyat mengelu-elukan Westerling, (jelas karena diancam dan karena takut). Ketika beranjak dari Makassar, kembali ke Jawa, konon, seseorang memberikan kenang-kenangan sebilah badik.
Kekejaman sang "JAGAL" di Kota Makasar
Dari ”JAGAL” ke Penjual Buku
Westerling ternyata memang berbakat menjadi jagal manusia. Di Bandung ia ikut kemelut politik Indonesia, untuk menyalurkan bakatnya membunuh. Lewat APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), ia memancing pertumpahan darah. Tapi di Bandung pula ia memasuki hidup berumah tangga, menikah dengan wanita setempat, yang bernama Ivonne Fournier. Semua itu, APRA dan perkawinannya, dilakukannya sebagai orang biasa, setelah jabatannya sebagai Komandan DST dicopot oleh Panglima KNIL Jenderal Simon Spoor, di Batujajar, 21 November 1948. Gagal dengan APRA, Westerling tak juga patah. Ia dan anak buahnya, menurut buku Westerling yang ditulis Supardi, sering mengadakan pertemuan di Nite Club Black Cat di Jalan Segara (sekarang Jalan Veteran 1), Jakarta. Mereka menggunakan pabrik besi Nyo Peng Liong sebagai tempat merakit senjata. Sedangkan dana ia peroleh dari sejumlah perkebunan di Jawa Barat, bantuan seorang yang bernama Jungschlager (orang ini diduga anggota Nefis, Dinas Intelijen Militer Belanda), juga pampasan perang dari Jepang.
Pada Kamis, 23 Februari 1950, pukul 10 pagi Letnan Sanjoto mendapat informasi bahwa Westerling berada di Pelabuhan II Tanjung Priok. Sanjoto menugasi Letnan Kusuma dan Letnan Supardi, penulis buku itu, menangkap Westerling. Pukul 19.00 mereka mengendarai jip Willys, mendatangi Westerling. Rencananya, mereka akan mengajak ngobrol sebentar, lalu Supardi menembak Westerling, dan Kusuma meledakkan granat.
Aksi tak berjalan sesuai skenario. Sebelum rencana terlaksana, Westerling malah menghampiri mereka, mengajak minum bir. Mereka tak kuasa menolak. Tapi tugas tetap dilaksanakan: kedua letnan itu mengatakan kepada Westerling bahwa ia diharap datang ke markas Tanjung Priok sebentar.
Mereka berangkat dengan kendaraan masing-masing. Di tengah perjalanan Westerling dan anak buahnya memberondong mobil Kusuma dan Supardi hingga terbalik dan penumpangnya luka. Mayor Brentel Susilo dan Letnan J.C. Princen, yang menguntit jejak Westerling, ganti mengejarnya. Tapi terlambat, hari itu juga Westerling terbang ke Singapura dengan pesawat Catalina yang diduga telah dipersiapkan sebelumnya.
Di Singapura Westerling sempat ditangkap Inggris. Tapi kemudian ia bisa berangkat ke Belanda, Agustus, tahun itu juga. Nasibnya di luar medan perang bisa dibilang buruk. Ia mencoba bergerak di bidang percetakan, gagal. Pernah juga ia mencoba menjadi penyanyi opera, belajar menyanyi di Jerman, gagal lagi. “Saya jual buku saja,” katanya suatu ketika. Dan akhirnya memang ia hidup sebagai pedagang buku bekas. Westerling nyaris terjun ke kancah perang lagi. Ia sempat membikin dua memorandum yang isinya mendorong agar Eropa (termasuk Belanda) berperang menghadapi Vietkong di Perang Vietnam. Tak ada yang menanggapi. Menjelang perebutan Da Nang, Juli 1965, seseorang menghubunginya, menawarinya melatih pasukan Vietkong. Kabarnya, Westerling hampir berangkat bila tidak dicegah pemerintah Belanda.
Westerling memang khas tentara bayaran. Ia tampaknya tak pernah berpikir untuk siapa dan untuk apa dia menembak. Hingga saat-saat terakhirnya, sejauh diketahui, Westerling belum pernah mengaku bersalah atas terornya di Indonesia. Yang dilakukannya, katanya, adalah melindungi rakyat. Si jagoan Kaptein de Turk (julukannya karena ia berdarah Turki) akhirnya ‘ditaklukkan’ bukan di medan perang, tapi di medan ilmu. Sejarawan De Jong melalui bukunya membuka kembali masa lalu De Turk, dan membuat penyakit jantungnya kambuh.
Kekejaman sang "JAGAL" menurut rekannya sendiri
Bekas Serdadu komando Belanda, Herman van Goethem, mengenang kedatangan pasukannya di bawah pimpinan Westerling di Makassar, Sulawesi Selatan, “Apa yang kami termui di sana tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Mayat-mayat mengambang di laut dan sungai. Rumah-rumah penduduk dibakar.”
“Sempat terpikir, ‘Apa yang bisa kami perbuat dengan pasukan sesedikit ini. Kami saat itu hanya berkekuatan 123 serdadu. Bagaimana kami harus mencetak prestasi dalam waktu singkat? Ternyata kemudian bahwa Westerling diberi kekuasaan penuh untuk memulihkan keadaan dengan caranya sendiri,” demikian Van Goethem.
Kesaksian lain juga datang dari bekas anak buah Westerling, juga bekas serdadu komando Belanda bernama Van Groenendaal. Aksi pertama pasukan komando Depot Speciale Troepen/DST (Pasukan Khusus Cadangan) masih jelas melekat di pelupuk mata Van Groenendaal.
Di pagi-pagi buta (masih gelap), 10 Desember, pasukan ini melancarkan operasi ke Batua, sebelah timur kota Makassar. Dalam radius cukup luas semua jalan diblokade oleh serdadu dari pasukan KNIL. Selanjutnya pasukan komando DST dengan bebas menyerbu kampung-kampung.
Kaum pria yang berusaha melarikan diri langsung ditembak di tempat. Sisanya, ribuan laki-laki penduduk setempat, dikumpulkan di tengah-tengah sawah. Menjelang fajar, Kapten Westerling memerintahkan pasukan komando DST ini agar perempuan dan anak-anak dipisahkan dari laki-laki. Hanya laki-laki saja yang tersisa dikumpulkan di tengah-tengah sawah.
Selanjutnya di tengah sawah itu Westerling mengambil posisi di belakang meja lipat dengan dua buah pistol tersedia di atasnya. Dari staf intelijennya, Westerling mendapat daftar nama-nama ‘teroris’ (julukan Belanda untuk para pejuang kemerdekaan, red) dan mulai memanggil satu per satu dengan suara keras.
“Ketika orang itu maju ke depan, saya masih melihatnya dengan jelas di pelupuk mata, Westerling mengambil salah satu pistol dan menembak mati orang itu. Begitu seterusnya Westerling menyelesaikan seluruh daftar nama. Mereka tidak ditanya apa pun, hanya nama. Jika nama mereka ada dalam daftar, langsung dibantai,” kenang Van Groenendaal.
Menurut Van Groenendaal, hari itu sebanyak 63 penduduk dieksekusi oleh Westerling, namun menurut versi angka resmi hanya 35 orang. Mayat-mayat mereka dilucuti dari benda-benda berharga yang menempel, antara lain arloji dan semacamnya, lalu dibuang di cekungan besar.
Ketika eksekusi selesai, Westerling memerintahkan kepala kampung untuk berpidato kepada warga yang isinya menyanjung Westerling sebagai orang yang membawa kedamaian. Warga lalu menyahut dengan tangan ke atas dan berseru, ‘baru hitu’ (hidup baru). Kemudian Westerling mengangkat semacam polisi kampung, yang dilengkapi dengan tombak dari Belanda untuk melindungi kampung mereka dari ‘teroris’.
Van Groenendaal mengenang bahwa dia saat itu sudah mengatakan kepada Westerling bahwa metode eksekusi tanpa proses hukum itu tidak boleh.
“Ik heb toen tegen Westerling gezegd, ‘Dit kan niet!’ Maar hij zei, ‘Dit is mijn opdracht en als jij een andere methode weet, dan doe ik dat. Maar die andere methode was er volgens hem niet’. (Saya saat itu mengatakan kepada Westerling, ‘Ini tidak bisa! Tapi dia berkata, ‘Ini tugas saya dan kalau kamu tahu metode lain, saya akan lakukan itu. Tapi metode lain itu menurut dia tidak ada,’”)
Sebetulnya Herman van Goethem juga keberatan dengan metode komandannya itu, tetapi dia juga tidak punya alternatif lainnya.
“Kami berpendapat bahwa ini adalah metode yang sangat kejam, tapi kami saat itu meyakini bahwa tidak ada metode lain. Dan itu terbukti dari penugasan yang kami terima: para ‘teroris’ itu harus dibereskan dalam beberapa bulan. Jadi, kami tidak bisa menyelesaikan tugas ini dengan banyak kebijakan,” ujar Van Goethem.
“Aksi seperti itu terus berlangsung. Hari-hari pertama sasarannya sekitar kota Makassar, lalu meluas ke kampung-kampung lainnya. Pasukan komando DST selama 3 bulan hampir siang malam mengeksekusi penduduk setempat dengan metode di atas,” demikian Van Goethem. (ni/andere tijden).
Kuburan Kapten "Jagal" Westerling di Belanda
Sumber : http://jogjaicon.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar