Minggu, 06 Februari 2011

BELIMBING DEMAK

LESTARIKAN BELIMBING DEMAK

Pada era kejayaan Kerajaan Demak Bintoro, belimbing (”Averhoa carambola”) menjadi salah satu tanaman dan buah favorit yang ditanam di Demak, Jawa Tengah. Penanaman itu tidak dalam bentuk budidaya di kebun atau lahan luas, tetapi di pekarangan rumah, bahkan di tepian jalan desa. Tak heran jika beredar cerita, konon Sunan Kalijaga, salah seorang Wali Songo, pun sempat menciptakan tembang Jawa berdasarkan inspirasi buah belimbing. Dalam tembang Lir-ilir itu terdapat syair, ”... Cah angon-cah angon, penekno belimbing kuwi. Lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodot iro... ” (anak-anak gembala panjatlah pohon belimbing itu. Meskipun licin tetap panjatlah…)

Sejarah belimbing di Demak memang demikian panjang. Pada 1980-an, belimbing demak mencapai puncak kejayaan. Belimbing tak hanya ditanam di halaman rumah, tetapi lahan luas pun disulap menjadi ”hutan” belimbing. Masyarakat sebagian besar mengandalkan kehidupannya kepada buah belimbing. Namun seiring perjalanan waktu, pada pertengahan 1990-an tanaman belimbing yang berjumlah 71.500 pohon, kini tinggal 20 persen. Itu pun buahnya jarang diperjualbelikan sehingga kalah bersaing dengan belimbing dari Blitar, Jawa Timur.
Buah belimbing pun semakin meredup dengan kehadiran buah-buahan lain. Namun, di antara waktu itulah Karmono dan Ramisyah, pensiunan penilik sekolah dan guru sekolah dasar, berperan. Menyimak nasib belimbing di wilayahnya yang makin tidak populer, mereka tergerak melestarikan belimbing demak. Suami-istri asal Desa Betokan, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, ini mencoba mempertahankan budidaya belimbing di tengah gempuran jambu air demak yang dikenal sebagai jambu merah delima dan citra.
Jambu yang semula merupakan tanaman seling pohon belimbing, seiring berjalannya waktu mulai menggantikan belimbing. Dinas Pertanian Kabupaten Demak mencatat, tahun 2010 terdapat 127.109 pohon jambu, 86.367 merupakan tanaman produktif.
”Perawatan belimbing yang sulit dan buah yang lebih sedikit membuat jambu diunggulkan,” kata Karmono.
Semula, Karmono sempat tergiur dengan gebrakan jambu air yang mampu meningkatkan penghasilan petani buah. Pohon jambu dalam setahun bisa berbuah tiga kali, dengan produksi 3.000-6.000 buah (300-600 kilogram). Sedangkan pohon belimbing dalam setahun hanya dua kali berbuah, dengan produksi 200-400 buah (40-80 kg).
Tak heran jika pohon belimbing yang semula berjumlah 200 pohon, pada akhir 2005 hanya tersisa 30 pohon. Banyak tetangga Karmono yang tidak lagi membudidayakan belimbing. ”Tugu desa yang semula berbentuk patung belimbing, sekarang berganti menjadi patung jambu air,” ujar Karmono.
Sebelum belimbing demak telanjur punah, Karmono dan Ramisyah berkomitmen untuk mengembangkan kembali tanaman buah tersebut, walaupun belum bisa sebanyak masa jayanya dulu. Belimbing merupakan tanaman yang dibudidayakan dan menghidupi keluarga mereka turun-temurun, setidaknya sudah empat generasi. Untuk itu, Karmono dan Ramisyah tetap merawat pohon belimbing yang berusia 15-25 tahun tersebut. Mereka juga membibitkan belimbing dengan mencangkok sejumlah pohon induk, generasi ketiga dan keempat pohon belimbing demak, sehingga bentuk dan rasanya tak jauh berbeda.
”Kami membibitkan pohon belimbing yang berbuah saat usianya satu-dua tahun. Meski pohonnya pendek, sekitar satu-dua meter, pohon itu sudah berbuah,” ujar Karmono. Di sisi lain, masih banyak orang yang mencari belimbing demak. Karena produksi buah belimbing yang terbatas, harganya pun relatif tinggi, Rp 7.000–Rp 10.000 per kg.

Seiring dengan menurunnya produksi buah belimbing, semakin melenyap pula teknik lama atau kuno dalam menanam dan membudidayakan belimbing. Salah satunya adalah teknik memberongsong belimbing dengan daun jati. Karmono dan Ramisyah mempertahankan teknik itu, lantaran daun jati merupakan materi paling baik sebagai pemberongsong belimbing.
Karmono mengatakan, ada tujuh bahan pemberongsong belimbing, yakni kertas minyak, kertas semen, kertas karbon, plastik, daun pisang, daun ploso, dan daun jati. Dari ketujuh materi itu, daun jati merupakan pemberongsong terbaik, disusul daun ploso dan kertas semen. ”Daun jati mempunyai pori-pori yang unik, sehingga mampu menghasilkan udara yang pas dalam pemberongsongan untuk mematangkan buah secara sempurna,” katanya.
Pori-pori daun jati, Karmono menambahkan, mampu mengatur masuknya sinar matahari agar tak menerpa langsung buah belimbing muda. Alasannya, kalau terkena sinar matahari langsung, buah belimbing muda akan rontok. Pemberongsongan juga berguna untuk melindungi belimbing dari lalat buah.
Menurut RamTerbitkan Entriisyah, pemberongsongan belimbing dengan daun jati juga telah dilakukan keluarganya selama empat generasi. Selain pada daun, kekhasan lain ada pada kode-kode khusus penanda kematangan dan pembeda antara belimbing yang satu dengan yang lain.
Kode-kode itu berupa pemasangan lidi sepanjang sekitar lima sentimeter pada berongsong. Misalnya, dua lidi yang dipasang horizontal menandakan belimbing yang diberongsong masih muda, dua lidi yang dipasang vertikal menunjukkan belimbing sudah setengah tua, dan dua lidi yang dipasang menyilang menandakan belimbing sudah siap panen.
”Kode-kode itu diperlukan karena belimbing harus diberongsong dengan daun jati satu per satu, tidak bergerombol sekaligus, sehingga kita tidak perlu membuka tutup berongsong. Berongsong baru diganti kalau daun jati membusuk terkena air hujan,” ujar Ramisyah.
Meskipun segala upaya pelestarian belimbing demak yang mereka ketahui telah dilakukan, Karmono dan Ramisyah tetap khawatir. Alasannya generasi berikutnya relatif tak ada yang berminat menjadi penerus budidaya belimbing. Padahal, bagi Karmono dan Ramisyah, belimbing demak tak sekadar buah, tetapi juga menyiratkan kearifan lokal dan filosofi hidup. (*/Kompas Cetak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar