Minggu, 06 Februari 2011

KERETA API

MUSEUM KERETA API AMBARAWA

Ambarawa sejak jaman Hindia Belanda merupakan daerah militer, sehingga Raja Willem I berkeinginan untuk mendirikan bangunan Stasiun Kereta Api guna memudahkan mengangkut pasukannya untuk menuju Semarang. Maka pada tanggal 21 Mei 1873 dibangunlah Stasiun Kereta Api Ambarawa dengan luas tanah 127.500 m2. Masa kejayaan Stasiun Ambarawa yang dikenal dengan sebutan WILLEM I, dihentikan pengoperasiannya sebagai stasiun kereta api dengan jurusan Ambarawa Kedungjati Semarang. Dan tahun 1976 untuk lintas Ambarawa Secang Magelang juga Ambarawa Parakan Temanggung.

Ditutupnya Stasiun Kereta Api Ambarawa, maka pada tanggal 8 april 1976 Gubernur Jawa Tengah Supardjo Rustam bersama Kepala PJKA Eksplotasi Soeharso memutuskan untuk mengubah Stasiun Ambarawa menjadi Museum Kereta Api dengan mengumpulkan 21 buah lokomotif yang pernah andil dalam pertempuran khususnya mengangkut tentara Indonesia.

Tertarik ingin menelusuri sejarah perkeretaapian di Indonesia, kami berangkat menuju Museum Kereta Api Ambarawa yang terletak di Kabupaten Semarang. Cukup menarik mengingat museum ini hanya ada satu-satunya di dunia yang memamerkan dipadukan dengan lokomotif uap yang masih bisa jalan mendaki gunung.Saat melewati pintu gerbang untuk menuju museum, kondisi jalan aspal untuk menuju lokasi parkir sudah rusak. Taman yang ada disekitar lokasi parkir kendaraan kurang terawat dan terlihat banyak tanaman yang mati. Bagi para penikmat kereta api hal ini sungguh memperihatinkan mengingat tempat ini merupakan salah satu aset sejarah dunia. 

Memasuki stasiun yang merupakan bangunan utama Museum Kereta Api Ambarawa, terasa seperti kembali ke masa lampau. Di beberapa ruangan museum, terdapat beberapa koleksi peralatan kuno seperti mesin telepon, mesin ketik, mesin hitung, dan peralatan lainnya. Benda-benda kuno tersebut masih terawat dengan baik dan tersimpan didalam etalase yang terbuat dari kaca.

Museum kereta api Ambarawa ini merupakan museum berteknologi kuno yang digunakan sebagai alat transportasi sejak sebelum kemerdekaan Indonesia sampai dengan tahun 1964. Di dalam museum ini terdapat 21 lokomotif uap yang berada di utara dan di barat museum, 5 lokomotif uap di depo dengan 3 diantaranya masih dapat beroperasi dengan baik. Selain itu terdapat beberapa alat-alat kuno seperti mesin hitung mesin ketik, pesawat telegram pesawat telepon, dan sebagainya.

Ketika kami sedang berjalan mengelilingi museum, kami melihat sebuah kereta uap lengkap dengan dua gerbong tuanya berjalan menuju stasiun. Ternyata ada sekelompok wisatawan yang menyewa kereta uap untuk merasakan perjalanan dengan menggunakan kereta uap.

Stasiun Ambarawa memiliki Lokomotif tua yang masih sanggup untuk mendaki pegunungan dengan kereta bergerigi, salah satu kereta api bergerigi di Indonesia yang dengan gagahnya mampu berjalan dengan kemiringan 30 derajat /ml menuju stasiun Bedono yang berjarak 9 km ditempuh dalam waktu 1 jam dan berkapasitas 80 orang. Wisatawan bisa menikmati panorama di sepanjang perjalanan berupa Gunung Ungaran dan Gunung Merbabu yang menjulang tinggi serta hamparan Rawa Pening di bagian bawah. Tidak ada salahnya kita menghargai Kereta Api sebagai alat transportasi tua yang telah berjalan di tanah Indonesia selama lebih dari 140 tahun yang lampau.

JAMBU DELIMA

NIKMATNYA JAMBU DELIMA DARI DEMAK
Jambu Delima

Bermula pada tahun 1997 Masyarakat Kota Demak Mulai mengembang biakkan Pohon Jambu. Hingga Sekarang Produksi buah jambu dari Demak sudah memenuhi kebutuhan buah-buahan di Jawa Tengah,dan  masih meluas hingga Jawa Barat Dan Jawa Timur.Sejak Tahun 1997 hingga sekarang banyak sekali areal persawahan padi berubah menjadi perkebunan Jambu.Hal ini terjadi karena hasil panen jambu lebih  menguntungkan  dan masa panen yang cepat serta  pasar yang mudah. Warna merah jambu  yang memikat,yang  berarti rasa manis. serta aroma tersendiri yang nikmat dibarengi dengan keembutan jambu DELIMA. Yang selalu membuat  masyarakat  ketagihan untuk memakanya trus. Jambu delima memang tidak sebesar jambu citra,tapi jambu delima lebih lembut dan aroma khasnya lebih terasa,dan selalu menimbulkan sugesti yang lembut saat menggigitnya.

Di Desa Kedunguter Kecamatan Karang Tengah Kabupaten Demak mulai membibitkan Jambu Delima berasal dari seorang pemuda yang memiliki keluarga orang Demak Kota membawa pulang cangkokan bibit Buah Jambu Demila dan ditanam didepan rumahnya, menginjak jambu Delima tersebut mulai berbuah selanjutnya jambu tersebut mulai di perbanyak dengan sistem dicangkok da diberikan kepada warga kampung yang ada disekitarnya.

BELIMBING DEMAK

LESTARIKAN BELIMBING DEMAK

Pada era kejayaan Kerajaan Demak Bintoro, belimbing (”Averhoa carambola”) menjadi salah satu tanaman dan buah favorit yang ditanam di Demak, Jawa Tengah. Penanaman itu tidak dalam bentuk budidaya di kebun atau lahan luas, tetapi di pekarangan rumah, bahkan di tepian jalan desa. Tak heran jika beredar cerita, konon Sunan Kalijaga, salah seorang Wali Songo, pun sempat menciptakan tembang Jawa berdasarkan inspirasi buah belimbing. Dalam tembang Lir-ilir itu terdapat syair, ”... Cah angon-cah angon, penekno belimbing kuwi. Lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodot iro... ” (anak-anak gembala panjatlah pohon belimbing itu. Meskipun licin tetap panjatlah…)

Sejarah belimbing di Demak memang demikian panjang. Pada 1980-an, belimbing demak mencapai puncak kejayaan. Belimbing tak hanya ditanam di halaman rumah, tetapi lahan luas pun disulap menjadi ”hutan” belimbing. Masyarakat sebagian besar mengandalkan kehidupannya kepada buah belimbing. Namun seiring perjalanan waktu, pada pertengahan 1990-an tanaman belimbing yang berjumlah 71.500 pohon, kini tinggal 20 persen. Itu pun buahnya jarang diperjualbelikan sehingga kalah bersaing dengan belimbing dari Blitar, Jawa Timur.
Buah belimbing pun semakin meredup dengan kehadiran buah-buahan lain. Namun, di antara waktu itulah Karmono dan Ramisyah, pensiunan penilik sekolah dan guru sekolah dasar, berperan. Menyimak nasib belimbing di wilayahnya yang makin tidak populer, mereka tergerak melestarikan belimbing demak. Suami-istri asal Desa Betokan, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, ini mencoba mempertahankan budidaya belimbing di tengah gempuran jambu air demak yang dikenal sebagai jambu merah delima dan citra.
Jambu yang semula merupakan tanaman seling pohon belimbing, seiring berjalannya waktu mulai menggantikan belimbing. Dinas Pertanian Kabupaten Demak mencatat, tahun 2010 terdapat 127.109 pohon jambu, 86.367 merupakan tanaman produktif.
”Perawatan belimbing yang sulit dan buah yang lebih sedikit membuat jambu diunggulkan,” kata Karmono.
Semula, Karmono sempat tergiur dengan gebrakan jambu air yang mampu meningkatkan penghasilan petani buah. Pohon jambu dalam setahun bisa berbuah tiga kali, dengan produksi 3.000-6.000 buah (300-600 kilogram). Sedangkan pohon belimbing dalam setahun hanya dua kali berbuah, dengan produksi 200-400 buah (40-80 kg).
Tak heran jika pohon belimbing yang semula berjumlah 200 pohon, pada akhir 2005 hanya tersisa 30 pohon. Banyak tetangga Karmono yang tidak lagi membudidayakan belimbing. ”Tugu desa yang semula berbentuk patung belimbing, sekarang berganti menjadi patung jambu air,” ujar Karmono.
Sebelum belimbing demak telanjur punah, Karmono dan Ramisyah berkomitmen untuk mengembangkan kembali tanaman buah tersebut, walaupun belum bisa sebanyak masa jayanya dulu. Belimbing merupakan tanaman yang dibudidayakan dan menghidupi keluarga mereka turun-temurun, setidaknya sudah empat generasi. Untuk itu, Karmono dan Ramisyah tetap merawat pohon belimbing yang berusia 15-25 tahun tersebut. Mereka juga membibitkan belimbing dengan mencangkok sejumlah pohon induk, generasi ketiga dan keempat pohon belimbing demak, sehingga bentuk dan rasanya tak jauh berbeda.
”Kami membibitkan pohon belimbing yang berbuah saat usianya satu-dua tahun. Meski pohonnya pendek, sekitar satu-dua meter, pohon itu sudah berbuah,” ujar Karmono. Di sisi lain, masih banyak orang yang mencari belimbing demak. Karena produksi buah belimbing yang terbatas, harganya pun relatif tinggi, Rp 7.000–Rp 10.000 per kg.

Seiring dengan menurunnya produksi buah belimbing, semakin melenyap pula teknik lama atau kuno dalam menanam dan membudidayakan belimbing. Salah satunya adalah teknik memberongsong belimbing dengan daun jati. Karmono dan Ramisyah mempertahankan teknik itu, lantaran daun jati merupakan materi paling baik sebagai pemberongsong belimbing.
Karmono mengatakan, ada tujuh bahan pemberongsong belimbing, yakni kertas minyak, kertas semen, kertas karbon, plastik, daun pisang, daun ploso, dan daun jati. Dari ketujuh materi itu, daun jati merupakan pemberongsong terbaik, disusul daun ploso dan kertas semen. ”Daun jati mempunyai pori-pori yang unik, sehingga mampu menghasilkan udara yang pas dalam pemberongsongan untuk mematangkan buah secara sempurna,” katanya.
Pori-pori daun jati, Karmono menambahkan, mampu mengatur masuknya sinar matahari agar tak menerpa langsung buah belimbing muda. Alasannya, kalau terkena sinar matahari langsung, buah belimbing muda akan rontok. Pemberongsongan juga berguna untuk melindungi belimbing dari lalat buah.
Menurut RamTerbitkan Entriisyah, pemberongsongan belimbing dengan daun jati juga telah dilakukan keluarganya selama empat generasi. Selain pada daun, kekhasan lain ada pada kode-kode khusus penanda kematangan dan pembeda antara belimbing yang satu dengan yang lain.
Kode-kode itu berupa pemasangan lidi sepanjang sekitar lima sentimeter pada berongsong. Misalnya, dua lidi yang dipasang horizontal menandakan belimbing yang diberongsong masih muda, dua lidi yang dipasang vertikal menunjukkan belimbing sudah setengah tua, dan dua lidi yang dipasang menyilang menandakan belimbing sudah siap panen.
”Kode-kode itu diperlukan karena belimbing harus diberongsong dengan daun jati satu per satu, tidak bergerombol sekaligus, sehingga kita tidak perlu membuka tutup berongsong. Berongsong baru diganti kalau daun jati membusuk terkena air hujan,” ujar Ramisyah.
Meskipun segala upaya pelestarian belimbing demak yang mereka ketahui telah dilakukan, Karmono dan Ramisyah tetap khawatir. Alasannya generasi berikutnya relatif tak ada yang berminat menjadi penerus budidaya belimbing. Padahal, bagi Karmono dan Ramisyah, belimbing demak tak sekadar buah, tetapi juga menyiratkan kearifan lokal dan filosofi hidup. (*/Kompas Cetak)

TAMPOMAS II

TRAGEDI TAMPOMAS II

KM Tampomas II milik Pelni ini baru melakukan pelayaran perdananya pada bulan Mei 1980. Tapi bukan berarti ini kapal baru. KM Tampomas II dengan bobot mati 2420 ton dan mampu mengangkut penumpang 1250 sampai 1500 orang ini adalah kapal bekas yang dibeli oleh PT. PANN (Pengembangan Armada Niaga Nasional, BUMN) dari Komodo Marine Jepang. Dan PT. Pelni membeli secara mengangsur selama sepuluh tahun kepada PT. PANN. Kapal ini sebelumnya bernama MV. Great Emerald dibuat di Jepang tahun 1956 dan dimodifikasi tahun 1971. Dibeli dengan harga 8.3 juta dollar AS, yang menurut beberapa pihak terlalu mahal untuk sebuah kapal bekas yang sudah berusia sepuluh tahun. Begitu dioperasikan, kapal penumpang ini langsung digeber abis untuk melayani jalur Jakarta-Padang dan Jakarta-Ujung Pandang yang memang padat. Setiap selesai pelayaran, kabarnya kapal ini hanya diberi waktu istirahat 4 jam saja dan harus siap untuk pelayaran berikutnya. Perbaikan dan perawatan rutin terhadap mesin dan perlengkapan kapal pun cuma bisa dilaksanakan sekedarnya, padahal mengingat usianya kapal ini butuh perawatan yang jauh lebih cermat.

Tampomas II berlayar dari pelabuhan Tanjung Priok Jakarta  hari Sabtu. 24 Januari 2008 pukul 19.00 menuju Sulawesi dengan membawa 191 kendaraan roda empat, sekitar 200-an sepeda motor dan 1054 penumpang terdaftar serta 82 kru kapal. Perkiraan mengatakan total manusia di kapal tersebut adalah 1442 orang (perkiraan tambahan penumpang gelap). Bahkan koki kapal yang selamat mengaku diperintahkan atasannya agar memasak untuk 2000 orang. Dalam kondisi badai laut di malam hari tanggal 25 Januari, beberapa bagian mesin mengalami kebocoran bahan bakar, diduga percikan api timbul dari puntung rokok yang melalui kipas ventilasi yang menjadi penyebab kebakaran. Para kru melihat dan gagal memadamkannya dengan tabung pemadam kebakaran portable. Api menjalar ke dek lain yang berisi muatan yang mudah terbakar, asap menjalar melalui jalur ventilasi dan tidak berhasil ditutup. Api semakin menjalar ke kompartemen mesin karena pintu dek terbuka. Selama dua jam tenaga utama mati, generator darurat pun gagal dan usaha memadamkan api seterusnya sudah tidak mungkin.

Tigapuluh menit setelah api muncul para penumpang diperintahkan untuk segera menaiki sekoci, hal ini pun sangat lambat sebab hanya satu jalan bagi penumpang untuk diturunkan ke sekoci. Sebagian penumpang terjun bebas ke laut menghindari kobaran api, sebagian lagi menunggu di dek dan panik menunggu pertolongan selanjutnya. Syahbandar pelabuhan Ujung Pandang mendapat berita dari KM Wayabula meneruskan informasi dari KM Sangihe yang tengah melakukan evakuasi bahwa Tampomas II terbakar di kepulauan Masalembo sekitar 220 mil dari Ujung Pandang. Ombak besar setinggi 7 – 10 meter dan angin kencang 10 – 15 knot menyulitkan penyelamatan sehingga KM Sangihe hanya dapat memindahkan 149 penumpang Tampomas II ke kapalnya. Saat kapal sudah mulai miring, Capt. Abdul Rivai (Nahkoda Kapal) masih tampak sibuk membagikan pelampung ke para penumpang yang tidak berani terjun ke laut. Bahkan di detik2 terakhir saat kapal mulai tenggelam, Capt. Abdul Rivai masih terlihat berada di anjungan kapal sambil berpegangan pada kusen jendela.

Di tanggal 26 Januari Laut Jawa mengalami hujan deras, api menjalar ke ruang mesin di mana terdapat ruang bahan bakar yang tidak terisolasi. Pagi hari 27 Januari terjadi ledakan dan membuat air laut masuk ke ruang mesin (ruang propeler dan ruang generator terisi air laut), yang membuat kapal menjadi miring 45° dan tenggelam 30 jam sejak percikan api pertama menjalar. Kapal-kapal lain yang berada di sekitar lokasi, KM Sangihe, KM Adiguna Kurnia, KM Istana VI, KM Ilmamui, KM Niaga XXIX, dan beberapa kapal lain berusaha semampunya untuk menyelamatkan penumpang Tampomas II yang terapung-apung di laut setelah melompat dari kapal.

Sampai tanggal 29 Januari tim SaR gagal melakukan pencarian karena besarnya badai laut, dan 5 hari kemudian 80 orang yang selamat dalam sekoci ditemukan 150Km dari lokasi kejadian karamnya Tampomas. Estimasi tim menyebutkan 431 tewas (143 ditemukan mayatnya dan 288 hilang/karam bersama kapal) dan 753 berhasil diselamatkan. Sumber lain (pemerintah?) menyebutkan 666 tewas. Berbagai cerita tragis dari penumpang yang selamat pun dituturkan. Ada seorang ibu yang terjun ke laut dengan anaknya yang masih bayi. Ketika tahu bayinya tak bernyawa lagi, ia pun tidak berusaha mengapung lagi membiarkan dirinya tenggelam. Tapi ketika ingat anaknya yang lebih besar masih hidup, ia tersadar dan berusaha tetap hidup. Lantai geladak luar kapal yang hanya terbuat dari plat baja tanpa pelapis kayu juga banyak memakan korban. Banyak penumpang panik yang tidak memakai alas kaki menjadi korban plat panas yang sedang terbakar itu. Proses penyelamatan yang lambat dan berlangsung selama 37 jam hingga kapal tenggelam membuat penumpang yang bertahan di geladak kapal harus bertahan tanpa makanan dan minuman. Dropping makanan dari udara tidak semuanya tepat pada lokasi penumpang.

Penumpang yang sempat menaiki sekoci penyelamat ternyata juga harus menjalani penderitaan. Selama 5 hari mereka terapung-apung di lautan di atas sekoci bersama sekitar 80-100 orang lainnya tanpa makanan. Sekoci yang kelebihan muatan itu bahkan sempat terbalik. Ketika berhasil dikembalikan ke posisi semula hanya tersisa 70 orang. Pada hari kelima barulah mereka menemukan daratan yaitu pulau Doang-doangan Sulawesi Selatan. Sesampai di darat 2 orang menghembuskan nafas terakhir.


Tak ada pejabat yang bertanggung jawab, semuanya berujung dengan kesalahan awak kapal. Hasil penyidikan Kejaksaan Agung yang menugaskan Bob Rusli Efendi Nasution sebagai Kepala Tim Perkara pun tidak ada tuntutan kepada pejabat yang saat itu memerintah. Skandal ini kemudian ditutup-tutupi oleh pemerintahan Suharto, kendati banyak tuntutan pengusutan dari sebagian anggota parlemen. Dalam suatu acara dengar pendapat yang diadakan oleh DPR-RI tentang kasus ini, Menteri Perhubungan menolak permintaan para wakil rakyat untuk menunjukkan laporan Bank Dunia yang merinci pembelian kapal bekas seharga US$8.5juta itu. Makelar kapal Tampomas II — Gregorius Hendra yang mengatur kontrak pembelian antara Jepang dan pemerintah Indonesia itu juga lepas dari tuntutan Kejaksaan Agung. Semoga saja kejadian seperti ini tidak terjadi lagi dan seluruh rakyat Indonesia dapat berpergian tanpa kekhawatiran timbulnya musibah yang dapat merenggut nyawa mereka-mereka yang tidak tahu apa-apa.

Kamis, 03 Februari 2011

SYEKH SITI JENAR

SEJARAH SYEKH SITI JENAR

Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto,Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.

Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah. Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.

Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….<serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1>

Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa. Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagaiSyekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.

Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana. Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.

Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat. Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.

Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.


Selasa, 01 Februari 2011

PULAU KEMBANG

BANJARMASIN
PULAU KEMBANG "PULAUNYA RAJA MONYET"
Pulau Kembang
Kenapa disebut Pulau Kembang, konon katanya Pulau yang merupakan delta dari sungai Barito ini hanya berupa tumpukan tanah biasa dan lama berkembang terus dengan semakin banyak tanahnya dan kemudian ditumbuhi tumbuhan sehingga terus berkembang, sehingga nama delta tersebut menjadi Pulau Kembang.




Pulau ini ditumbuhi tumbuh-tumbuhan khas Kalimantan, dan saat ini dihuni oleh kawanan monyet yang termasuk jenis kera berekor panjang alias monyet. Dan di tengah-tengah pulau katanya juga ada rajanya dengan tubuh yang lebih besar. Di pulau yang daerah administrasinya termasuk ke Kabupaten Barito Kuala, Kalsel ini terdapat tempat untuk pemujaan bagi etnis Tionghoa, dimana ada berupa tempat pemujaan disertai replika monyet putih/ Hanoman.
Untuk mencapai pulau ini tidak begitu susah apalagi sebelumnya telah mengunjungi Pasar Terapung , pulau ini sebenarnya sudah kelihatan ketika kita akan menuju Pasar tersebut. Dan setelah mengunjungi Pasar Terapung biasanya yang punya jukung akan menawari apakah kita berminat ke Pulau Kembang atau tidak, atau jika tidak ditawari cukup ditanyakan ke yang punya jukungnya apakah bisa melanjutkan perjalanan ke Pulau Kembang.